Subscribe:

Pages

Kasuami, Pangan Lokal yang Layak meng-Indonesia

KASUAMI, pernah mendengar kata ini? Ini adalah kata untuk penyebutan makanan khas masyarakat Sulawesi Tenggara. Saya mengenal dan mengakrabi makanan ini ketika tinggal beberapa tahun di Kota Maumere, Flores, Nusa Tenggara Timur. Flores dan terutama di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil yang mengelilinginya memang didominasi oleh mayarakat nelayan suku Bajo dan Buton. Seperti di Pulau Pemana, yang harus ditempuh dengan kapal kecil sekitar empat jam dari Kota Maumere, penghuninya didominasi oleh masyarakat Buton yang menjadikan kasuami sebagai salah satu makanan pokok dan khas.

Makanan ini berbahan baku dari singkong (ketela pohon atau ubi kayu) yang diparut kemudian dikukus dan dibentuk seperti tumpeng atau gunungan berbentuk segitiga namun dengan ukuran agak kecil. Warnanya ada yang dibuat hitam agak keungu-unguan atau putih kekuning-kuningan, tergantung keinginan ketika membuatnya. Dinamakan kasuami, menurut penuturan beberapa orang yang saya kenal yang tinggal di pemukiman nelayan suku Wajo, Wuring, Kota Maumere, karena makanan yang berbahan baku dari singkong ini harus dipadukan dengan ikan sebagai lauk utamanya, jadi tak boleh dipisahkan, layaknya suami-istri. Makanan ini sangat “serasi”, salah satu bahan mengandung banyak karbohidrat, sementara pendamping utamanya (ikan laut) merupakan sumber protein yang tinggi. Ikan laut biasanya dalam bentuk ikan bakar dan ikan dengan bumbu yang berkuah.

Namun demikian, makanan ini juga disuguhkan dengan sayuran semacam buah pepaya muda, daun pepaya, bunga pepaya, dan daun sigkong. Dan tak lupa, yang juga mencirikan kekhasan aroma makanan ini adalah sambal tomat super pedas yang diiris-iris tanpa dihancurkan (diulek) dengan tetesan jeruk nipis. Jeruk nipis ini untuk “mengeliminir” aroma amis ikan laut yang dibakar maupun yang dimasak dengan kuah. Di samping itu, kasuami dapat juga “disandingkan” dengan bahan lain semacam kacang merah sehingga nilai gizinya lebih tinggi dan bervariatif rasanya. Makanan ini, di Maumere dijual di beberapa warung yang dikelola masyarakat Buton. Ada yang dijual matang atau siap saji dengan lauk pauknya, ada juga yang dijual “kering” yang biasanya untuk oleh-oleh ke luar kota.

Melihat kenyataan ini, sebenarnya makanan ini tercipta karena adaptasi dengan kondisi geografis dan sumberdaya alam yang tersedia. Masyarakat Buton di Flores umumnya tinggal di pesisir dan pulau-pulau kecil seperti Pulau Pemana. Profesi utamanya tentu saja sebagai nelayan. Sementara kondisi geografis yang ditempati sangat kering dan relatif cocok dengan tanaman ketela pohon atau singkong. Itu makanya mereka sesungguhnya lebih “akrab” dengan dua komoditas ini sebagai bahan makanan utamanya.

Dari sisi ilmu pangan, makanan ini cukup saling lengkap kandungan gizinya. Singkong, ikan dan aneka sayuran jelas menghasilkan karbohidrat, protein, mineral dan vitamin yang bisa menopang kebutuhan tubuh untuk aktivitas sehari-hari. Namun, kenyataan lain juga menunjukkan bahwa mereka warga Pulau Pemana dan Flores lainnya, saat ini juga menjadikan beras sebagai bahan pangan utamanya. Ini bisa dilihat dari pelayaran kapal Maumere ke Pulau Pemana atau dari Jawa dan Sulawesi Selatan ke Pulau Flores yang mengangkut bahan pokok termasuk beras. Tentu saja ini menunjukkan ketergantungan warga Pulau Pemana dan Flores terhadap beras sangat tinggi. Sementara itu Flores sesungguhnya bukan penghasil beras yang utama. Jika terjadi “kekacauan” produksi di Jawa atau terjadi gangguan transportasi, tentu akan mengganggu stabilitas ketahanan pangan di daerah ini. Sementara lidah masyarakatnya sudah mulai “melupakan” makanan yang dulu pernah menjadi bagian utamanya.

Persoalan inilah yang harusnya mendapat perhatian kita bersama. Indonesia ini sesungguhnya kaya akan bahan pangan yang beragam, tidak hanya beras. Dan sudah saatnya kita meninggalkan paradigma “belum makan kalau belum makan beras”. Masih banyak bahan-bahan pangan lain yang bisa menjadi pangan utama kita. Kasuami dan mungkin penganan lain yang ada di wilayah-wilayah lain di penjuru Indonesia sudah selayaknya kita angkat, kita “Indonesia-kan”, biar lebih meng-Indonesia seperti halnya beras. Mari kita perjuangkan bersama!