SELAMA ini bangsa kita dikenal sebagai bangsa agraris. Di samping itu, kita juga dikenal sebagai bangsa yang agamis. Namun, ironisnya, sebagai bangsa agraris dan agamis, sektor pertanian kurang mendapat perhatian kita semua, termasuk kaum agamawan.
Berbagai persoalan di sektor pertanian masih saja mendera bertubi-tubi. Mulai dari masalah sarana dan prasarana produksi, kebijakan harga produk, kebijakan pertanahan, sistem distribusi, kemiskinan petani, dan sebagainya. Sedangkan peran para agamawan sepertinya telah jauh meninggalkan “lahan-lahan pertanian” dan lebih tertarik menguliti bahkan menggeluti masalah-masalah politik praktis.
Mereka kurang antusias dalam membumikan nilai-nilai agama dalam menumbuhkan semangat bertani, apalagi melakukan pembelaan terhadap nasib petani. Hal ini bisa saja menjadi penyebab mengapa kondisi pertanian kita tetap terpuruk.
Landasan teologi peribadatan yang terbangun selama ini pun telah dipersempit, sehingga seolah-olah masalah ibadah hanyalah yang berkaitan dengan ritual-individual. Padahal, sebenarnya ibadah mempunyai ladang cakupan yang luas dan universal, bersifat ritual-individual maupun sosial-komunal.
Termasuk juga dengan aktivitas di sektor pertanian, adalah salah satu aktivitas peribadatan guna memakmurkan bumi. Bukankah di dalam kitab suci telah dijelaskan bahwa Allah SWT menciptakan manusia dari bumi (tanah) dan menjadikannya sebagai pemakmurnya?
Memakmurkan bumi, salah satunya bisa diejawantahkan dengan tetap menjaga harmoni cinta dengan tanah, air, tanaman dan lingkungan sekitar bahkan lingkungan globalnya. Manusia (petani) mengolah bumi (tanah) dengan sebaik-baiknya, menjaga kesuburannya, serta tidak mengeksploitasinya serta merawat tanaman dengan sebaik-baiknya sesuai dengan pemahaman ilmu agronomi yang dipahami agar tanaman tetap tumbuh-kembang dengan baik yang kelak akan memberikan banyak harapan (panen).
Oleh karena itu, sebagai bangsa agraris dan agamis tentunya sangat logis jika nilai-nilai teologis digali kembali dan dijadikan sebagai landasan pembangunan pertanian. Dengan landasan teologis akan mampu memberikan pencerahan dan perspektif baru tentang bagaimana sikap agama dalam mengurai benang kusut yang terus-menerus membelit sektor pertanian serta memberikan garansi keberpihakan terhadap kaum tani.
Landasan Teologis
Profesi petani pada hakikatnya mempunyai nilai yang sangat mulia. Di samping mendapat manfaat ekonomi secara langsung juga akan mendapat pahala atau ganjaran. Nabi Muhammad mengatakan bahwa setiap muslim yang menanam suatu tanaman, kemudian tanamannya itu dimakan oleh burung, manusia atau hewan, maka itu akan menjadi sedekah baginya (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim). Sedangkan Imam An-Nawawi menyebutkan bahwa pekerjaan yang baik ialah pertanian karena dikerjakan dengan tangan sendiri dan juga memberi manfaat kepada diri sendiri, umat dan kepada binatang.
Di samping itu, dengan pertanian akan mampu membawa para petani kepada sikap tawakal, yaitu sikap pasrah diri kepada Allah SWT setelah melakukan segala daya dan upaya dengan optimal atau ikhtiar.
Dengan demikian, dari sudut pandang akidah saja, proses bertani menuntut kesabaran yang tinggi sebelum masa panen tiba. Dalam proses inilah petani dapat lebih memahami hakikat tawakal yang sebenarnya, karena bagaimanapun hasil panennya nanti tak terlepas dari hak mutlak-Nya.
Selain itu juga, dapat dikatakan bahwa bertani adalah salah satu bentuk jihad fisabilillah karena setidaknya bagi petani sendiri, bertani adalah suatu upaya mempertahankan kelangsungan kehidupannya dan juga keluarganya. Lebih dari itu, hanya dengan pertanian-lah krisis pangan dapat diatasi, sehingga semua orang dapat mempertahankan kehidupannya.
Oleh karena itu, kalau agama saja dengan jelas dan tegas memberikan dukungan dan insentif yang menarik kepada sektor pertanian, maka sudah seharusnya jika kita, terutama pengambil kebijakan memihak kepada petani dan mulai merefleksikan nilai-nilai teologis dalam membangun pertanian. Dalam hal ini sangat diperlukan peran teolog, ahli agama, ataupun para ulama untuk merekonstruksi sekaligus membumikan nilai-nilai teologis yang mampu memahami pertanian serta membentuk paradigma berpikir dan kesadaran baru tentang pertanian.
Dicari: Ulama Oposan
Petani yang mayoritas sebagai kaum lemah harus mendapat pembelaan yang proporsional sehingga dapat keluar dari kondisi fakir dan miskin, baik fakir ekonomi maupun fakir politik. Bukankah kefakiran akan mudah mendekatkan seseorang pada kekafiran?
Para teolog ataupun ulama tak perlu segan menjadi oposan jika kebijakan yang diambil pemerintah dirasa tidak memihak petani. Oleh karena itu, para teolog ataupun para ulama harus terus-menerus menanamkan nilai-nilai teologi dalam membangun pertanian untuk membebaskan petani dari keterpurukan selama ini. Itu dilakukan baik kepada pengambil kebijakan maupun petani.
Dengan demikian, bagi pembuat kebijakan, hal ini akan dapat menutup atau meminimalisir peluang moral hazard yang seringkali dilakukan oleh pembuat kebijakan sendiri. Kebijakan pemerintah kepada petani dapat diejawantahkan dengan, misalnya, memberikan insentif harga produk pertanian yang layak, memperluas akses petani terhadap input produksi, akses pasar, penguasaan teknologi baru, pembangunan infrastruktur, perlindungan lahan pertanian dan sebagainya.
Sedangkan bagi petani, dengan tertanamnya nilai-nilai teologis, akan mampu memah`mi profesinya sendiri. Menjadi petani tidak hanya sebagai upaya pemenuhan produksi pangan, tetapi lebih dari itu, bertani merupakan bentuk peribadatan yang sarat pahala. Dengan demikian, ini akan membuat petani menjadi lebih percaya diri dengan profesinya dan lebih bergairah atau produktif dalam berusaha tani. Semoga!
*Ilustrasi gambar diambil dari sampul buku "Dari Ladang sampai Kabinet: Menggugat Nasib Petani", karya JA Noertjahyo, Penerbit Buku Kompas, 2005.
*Ilustrasi gambar diambil dari sampul buku "Dari Ladang sampai Kabinet: Menggugat Nasib Petani", karya JA Noertjahyo, Penerbit Buku Kompas, 2005.