SELAIN untuk menikmati pemandangan alam pegunungan, alasan utama bagi para pelancong yang berkunjung ke Wonosalam, 30 km tenggara kota Jombang atau 70 km barat daya kota Surabaya, umumnya adalah untuk berburu buah durian. Ini terutama terjadi ketika bepergian antara bulan Desember hingga Maret, dimana pada bulan-bulan tersebut sedang terjadi panen raya buah durian. Makanya tak mengherankan jika setiap akhir pekan atau hari libur banyak mobil berplat luar kota yang berjajar di tepi-tepi jalan mengerubuti penjual durian, bak semut mengerubuti gula. Ada yang melihat-lihat dan mencium aroma durian untuk memastikan kematangannya, ada yang tawar-menawar harga, dan ada juga yang menikmati beramai-ramai durian yang telah dibeli.
Dan pada musim durian seperti saat ini, banyak warga yang beralih profesi menjadi “pedagang dadakan” yang memamerkan dagangannya di depan rumah atau mendirikan “bedak” di tepi jalan. Aneka jenis buah durian yang mereka tawarkan, mulai dari yang jenis lokal tetapi menjadi primadona utama seperti durian Bido, sampai berbagai jenis durian “pendatang” yang dianggap lebih unggul semacam durian Petruk dan Morn Thong atau lidah kita biasa menyebut Monthong, yang dari Thailand itu. Bahkan, durian Bido Wonosalam telah mendapat tempat tersendiri di lidah pemburu dan penggemar durian. Sementara oleh pemerintah, Durian Bido Wonosalam juga telah dilepas sebagai Varietas Unggul yang ditandai dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 340/Kpts/SR.120/5/2006.
Sering ada pelancong yang bertanya, mengapa harga durian di Wonosalam justru relatif lebih mahal, padahal Wonosalam adalah tempat produksi durian? Umumnya petani atau “pedagang sejati” durian di sini akan menjelaskan dengan detail mengapa ini bisa terjadi. Dan setelah mendapat penjelasan, dan juga membuktikan sendiri, biasanya para pembeli akan memahaminya.
Alasan utama mengapa harganya relatif lebih mahal adalah karena durian yang dijual di kawasan Wonosalam umumnya durian yang benar-benar matang di pohon. Jadi tanpa ada rekayasa untuk mempercepat kematangannya. Matangnya pas banget, tidak kurang dan kalau matang kulitnya tidak sampai mlethek atau terbuka. Durian seperti ini umumnya mempunyai rasa yang khas. Dagingnya lembut dan tebal, tidak terlalu garing ataupun lembek, rasanya legit dan sedikit ada rasa pahitnya. Nah, rasa pahit inilah yang membuat “kecanduan” para pelancong untuk terus menikmati durian. Konon, durian yang dihasilkan petani di Wonosalam, apapun jenisnya, rata-rata mempunyai rasa pahit dan rasa pahit inilah yang mungkin membedakan dengan durian yang dihasilkan dari kawasan lain. Entah mengapa demikian, mungkin kandungan mineral tanah dan cuacanya yang spesial sehingga berbeda dengan daerah lain. Masih diperlukan penelitian spesial pula untuk mengetahui soilstructure maupun microclimate di Wonosalam.
Sedangkan untuk memperoleh durian dengan tingkat kematangan yang pas seperti itu, tidak seperti membalik telapak tangan, diperlukan kesabaran dan usaha ekstra keras. Para petani durian di Wonosalam umumnya memberi perlakuan khusus dengan cara mengikat tangkai bagian bawah durian dengan tali rafia dan disangkutkan pada ranting terdekat. Dengan cara ini, durian dibiarkan terus sampai tua dan matang di pohon secara alami. Tanda kalau durian sudah matang adalah tangkai bawah akan terlepas sendiri dari tangkai atasnya yang langsung menempel di ranting atau cabang pohonnya. Karena ada tali yang mengait, maka durian yang terlepas tadi tidak langsung jatuh ke tanah, tetapi tetap tergantung di cabang atau ranting. Para petani tinggal mengambil buah yang matang tadi dengan melepas ikatan tali. Dengan demikian, buah durian yang diambil benar-benar matang dan tetap utuh karena tidak terjadi benturan seperti ketika jatuh langsung ke tanah. Biasanya kalau durian langsung jatuh ke tanah kulitnya akan terbuka, dan hal ini tentu saja membuat rasa durian ngabar atau hambar dan cepat busuk.
Sementara itu, jika ada durian tak habis terjual pada akhir pekan, akan segera dilempar ke pasar-pasar yang lebih dekat dengan kota untuk menghindari kerusakan buah durian, dan tentunya dengan harga yang lebih miring. Dan lagi, kebanyakan durian-durian itu adalah hasil peraman. Memang durian seperti ini biasanya bisa bertahan lebih lama, karena dipetik sebelum matang seratus persen, tetapi jelas rasanya sangat berbeda dengan yang benar-benar matang di pohon. Umumnya, durian ini diperjualbelikan oleh para tengkulak yang menebas (buy up harvest’ yield) durian ke para petani. Sebelum matang beneran, buah durian sedikit “dipaksa” untuk diambil dari pohon. Setelah itu diperam dengan memakai klaras atau daun pisang kering, juga kadang-kadang memakai daun lamtoro yang juga dikeringkan. Kenapa tidak memakai karbit? Kalau memakai karbit, bau karbit pasti akan “menempel” pada durian, dan ini tentu membuat durian turun “kredibelitas”-nya di mata konsumen.
Meskipun demikian, tidak semua durian yang dijual di Wonosalam adalah durian yang asli dari Wonosalam. Pada saat-saat tertentu, terkadang para pedagang juga mendatangkan dari daerah sekitar, misal dari Kasembon dan Pujon di Kabupaten Malang. Bahkan, ada juga yang mendatangkan dari daerah Sawahan, Nganjuk. Jeleknya, kadang-kadang para pedagang itu mengaku-ngaku bahwa duriannya asli dari Wonosalam. Ini dilakukan untuk meningkatkan prestice dan price durian yang dijual dengan label “Durian Wonosalam”. Padahal, perilaku seperti inilah yang kadang merugikan para petani durian Wonosalam, karena kualitas durian luar daerah itu jelas berbeda dengan yang asli Wonosalam. Akibatnya bisa ditebak, kepercayaan konsumen akan menurun. Kalau kepercayaan sudah menurun, pelan tapi pasti mereka tak mau lagi membeli durian asal Wonosalam dan lari ke kawasan lain.
Sementara itu, dalam transaksi biasanya pedagang durian di Wonosalam juga memberi garansi, yaitu pecah di tempat. Jika durian yang telah dibeli lalu dipecah dan tak sesuai harapan boleh ditukar kembali. Inilah keunggulan model penjualan di sini.
Soal rasa, ada rumusan yang sudah umum, yaitu tidak tergantung pada jenis duriannya, tetapi pada enak atau tidak enak durian tersebut. Jadi, bagi para pelancong, tak peduli mereka membeli durian lokal yang kecil-kecil atau durian yang dianggap “unggul” dengan ukuran besar-besar. Namun, sebenarnya ada kecenderungan bahwa pembeli lebih suka yang jenis lokal yang kecil-kecil ukurannya, karena rasa pahitnya lebih terasa dibanding yang jenis unggul. Seperti yang penulis ungkapkan sebelumnya, rasa pahit inilah yang membuat orang kecanduan. Dan sensasi menikmati durian akan semakin terasa jika dinikmati dalam cuaca hujan gerimis disertai semilir angin sepoi-sepoi pegunungan. Ditengarai, durian juga mampu membuat tubuh menjadi terasa lebih hangat. Apalagi musim durian di Wonosalam biasanya bersamaan dengan musim penghujan.
Hal-hal seperti ini jelas tidak kita temui jika membeli durian yang diperdagangkan di kota, swalayan, toko buah ataupun supermarket. Jadi, inilah beberapa alasan, mengapa durian di Wonosalam relatif lebih mahal. Ingin mencoba